Seperti Kamu, atau Aku, Mungkin Saja Seperti Bumi

Moch Rizky


Ini mengenai, mati. Kita tidak pernah tahu sebenarnya kondisi mati yang seperti apa yang disebut mati. Mungkin saja itu rigor morti Kondisi ketika darah dalam tubuh kita kaku seutuhnya atau mungkin saja keadaan ketika kita tak berpikir seperti yang Descartes sabdakan “Cogito ergo sum” aku berpikir maka aku ada, sabda ini memberikan implikasi bahwa, ketika kita tidak berpikir maka kita tak ada, namun tak ada belum tentu mati, dan mati pun bukan berarti tak ada. 

Seperti Tuhan yang Nietzsche maksud, kematiannya bukan berarti ke-absenan Ia, justru perkataan Nietzsche yang seolah meniadakan eksistensi sang Khalik memberikan impact yang sebaliknya. Keabsenan yang ia gelarkan dan mati yang ia voniskan kepada Tuhan justru berdampak dengan melonjaknya amukan para pemuja Tuhan.

Seperti sebuah jarum jam, dunia ini memiliki sebuah system yang tidak kita ketahui. Alam semesta memiliki roda roda gir kecil yang tak terlihat, roda gir kecil yang menggerakkan segala kehidupan. Sebagian mungkin menyebutnya materi (matter, God matter) yang lain juga mengatakan bahwa itu adalah takdir atau ketetapan Tuhan. Yang pasti, yang manapun itu, hal kecil yang kita lakukan akan berdampak besar bagi cara kerja dunia ini. 

Karena dunia ini hidup, dan sebuah kumpulan kehidupan, layaknya tubuh manusia yang disusun oleh triliunan atom, dunia pun terbentuk oleh ruang kosong yang di tempati oleh berbagai mahluk yang saling memberikan kausalitas. Begitu pula halnya dengan kematian, yang merupakan salah satu bentuk dari kausalitas.

Kematian satu manusia mungkin terdengar seperti hal yang lumrah, namun dari kematian satu manusia pula, akan banyak kehidupan lain yang bisa membaik dan bisa juga malah memburuk. 

Penggali kubur dapat membeli nasi atau membayar hutangnya yang telah lama tak terbayar, cacing, bakteri dan jamur mendapatkan tempat tinggal dan sumber makanan segar (atau mungkin busuk) dan setelah beberapa waktu tanah akan semakin subur, begitu juga tumbuhan mendapatkan nutrisi dari sisa sisa bangkai orang mati.

Setelah jauh ribuan tahun, manusia di masa depan atau mungkin spesies baru akan mulai menggali tanah atau mungkin dengan cara apapun yang akhirnya akan menemukan fossil tulang tulang manusia yang telah lama mati atau jika beruntung mereka akan menemukan tubuh manusia utuh yang membeku di antartika, lalu dari fossil tulang manusia itulah, arkeolog arkeolog masa depan akan menghidupi keluarganya.

Seperti halnya manusia, bumi pada akhirnya akan hancur, entah ditelan matahari atau mungkin mati karena akibat manusia yang sewenang-wenang mengurusi bumi.

Hingga suatu hari yang nun jauh nanti, ketika kita tak lagi ada, dan manusia mungkin telah sirna. Mentari yang sering kita caci pun akan mati dengan sendirinya, bangkainya yang biru gemerlapan akan bersinar jauh lebih terang (neutron star), hingga kilauan cahaya-Nya dapat dilihat sampai radius jutaan tahun cahaya. Namun, jika semua hal memiliki akhir. Maka akan ada apa setelah semua berakhir? Apakah kekosongan yang tiada akhir, yang mengingkari hukum keberakhiran, ataukah layaknya Tuhan yang maha abadi. 

Kita semua, kau, aku juga bumi pada akhirnya abadi dalam singularitas ruang, waktu dan dimensi menjadi satu tanpa nama, tanpa identitas menjadi satu bentuk awal yang membentuk ruang dan waktu, berkumpul kembali atas dasar kerinduan untuk saling menyatu.

Maka, ku ucapkan selamat bagi siapapun yang membaca dan memiliki kesadaran. Kehidupan kita abadi. Seperti Kamu, atau Aku, mungkin saja seperti Bumi, awal dan akhir hanyalah khayalan, kita hanya sekumpulan ceceran dari singularitas sang maha kuasa. Tuhan atau apapun mereka menyebutnya, Ia kekal abadi selamanya.


Cheriooo!!!


Nyang nulis : Moch Rizky.

Previous Post
2 Comments
  • Yulia
    Yulia 7 November 2021 pukul 10.24

    Mode baca nya jadi gini, baca bentar,, terus otak muter hehe

    • Baim dutinov
      Baim dutinov 7 November 2021 pukul 11.15

      Setuju, pisan.

Add Comment
comment url